

Anakku Bukan Delman Dalam Pacuan Dunia Digital
Diposting pada tanggal: 30-10-2020
30 Likes
Jadi orang tua untuk generasi alfa tentu punya tantangannya tersendiri. Bagi anak-anak kita, tumbuh dan berkembang di tengah pesatnya kemajuan dunia digital bagaikan koin yang memiliki dua sisi: akses informasi begitu mudah didapat, namun di sisi lain belum tentu semua yang mereka lihat dan dengar adalah baik dan benar. Misalnya sekali membuka media sosial ada beragam nilai, pandangan, gaya hidup yang berseliweran di depan mata. Mana yang harus diikuti? Tidak selalu jadi perkara mudah bagi kita yang dewasa, apalagi anak-anak kita yang masih belia.
Menurut saya,orang tua sebagai guru dan sekolah pertama anak wajib mengenalkan terlebih dulu nilai-nilai penting dalam kehidupan serta keterampilan berpikir logis dan kritis sebelum membiarkan anak-anak masuk ke dalam belantara dunia digital. Kenalkan buku dulu baru gawai. Ada pepatah yang mengatakan bahwa " A child who reads will grow up and be an adult who thinks".
Dalam hal perkenalan dengan layar digital, saya memilih untuk mendengar mereka yang ahli dan punya kredibilitas dalam bidangnya. Misalnya WHO menyarankan bayi hingga usia 2 tahun untuk sama sekali tidak memiliki screen time. Saya berusaha untuk mematuhi itu, minimal untuk mengurangi resiko speech delay yang kian hari semakin jamak terdengar. Waduh, kalau nggak screen time mati gaya dong... Nggak selalu begitu kok, kan kita bisa bacakan buku cerita, bernyanyi atau bermain sama anak-anak. Yah..memang jauh lebih praktis setel Youtube dan biarkan bayi atau balita "terhipnotis" tayangan kartun hingga berjam-jam. Tapi..kalau nanti alami speech delay, atau bicara dengan bahasa yang tidak mudah dimengerti, menurut saya akan jauh lebih merepotkan dan merugikan. Itu baru contoh kecil tentang memulai perkenalan anak dengan dunia digital ya.
Jika sudah masuk usia yang layak terpapar layar, boleh lah anak-anak sesekali menonton acara kesukaan mereka. Misalnya tayangan kartun yang aman untuk balita atau melihat video lagu-lagu kesukaan mereka. Tayangan apa yang aman? Ya kembali lagi pada nilai penting apa yang ingin kita ajarkan untuk anak-anak kita. Misalnya video Youtuber cilik unboxing berbagai macam mainan sekilas terlihat lucu dan menggemaskan,namun hati-hati tayangan itu sarat nilai-nilai konsumerisme. Sebisa mungkin selalu temani anak saat menonton tayangan di dunia digital. Se"aman" apapun rekomendasi sebuah tayangan, kita sebaiknya mengecek pemahaman anak. Misalnya dalam tayangan Disney Princess, saya berusaha menggelitik daya kritis anak saya yang waktu itu usia 3.5 tahun dengan bertanya "Wah Putri Salju kenapa ya sudah dikasi tau jangan buka pintu, tapi terus menerus ulangi kesalahan yang sama?" Lalu anak saya pun lama-lama paham dan menyadari "kebodohan" Snow White. Jadi intinya, jangan biarkan anak kita pasif menonton dan menyerap apa pun begitu saja. Karena "apa pun" yang ada di dunia maya belum tentu layak masuk dalam dunia si kecil yang serba lugu dan polos itu.
Kemudian, tetapkan jadwal kegiatan si kecil berinteraksi di dunia digital. Pastikan proporsi kegiatan fisik dan interaksi langsung dengan orangtua atau teman sebaya porsinya lebih banyak dibanding kegiatan di depan layar. Berdasarkan WHO anak usia balita dalam sehari harus memiliki waktu aktivitas fisik sebanyak 3 jam yang dibagi dalam 1 hari. Sementara batasan screen time tidak boleh lebih dari 2 jam per hari. Memang kodrat anak-anak itu bermain, dan gawai tidak akan pernah bisa menggantikan peran orangtua untuk bermain bersama anak.
Pacuan dunia digital akan terus melaju kencang. Dalam "Social Dilemma"-sebuah tayangan dokumenter di Netflix para ahli di bidang teknologi menyuarakan kekhawatiran mereka tentang dampak teknologi informasi bagi manusia. Di balik layar digital terdapat Artifical Intelligence dengan kecerdasan exponential yang terus berkembang semakin canggih. Sementara otak manusia tidak dirancang untuk berkembang dengan kecepatan setinggi itu. Di sini kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir kritis manusia akan diuji. Anak-anak harus dibekali dengan hati nurani, kreativitas dan logika yang tidak tergantikan oleh teknologi. Para pencipta dan pembesar teknologi tersebut sudah memutuskan untuk membatasi terpaan dunia digital dalam hidup anak-anak mereka, karena mereka paham akan bahaya yang mengintai. Kembali pada alam, buku, teman-teman dan keluarga sebagaimana anak-anak menikmati masa kecil dari waktu ke waktu. Pahami dunia digital secukupnya, selayaknya. Keterampilan bergawai mudah dipelajari, tapi keterampilan berpikir dan merasa penting diasah sejak dini. Jangan biarkan anak-anak kita hanya jadi delman dalam pacuan dunia digital.