

Bolehkah Anak Terpapar Gadget
Diposting pada tanggal: 29-10-2020
27 Likes
Menjadi orang tua di era digital dan derasnya arus informasi memang sangat menantang. Seperti halnya perdang bermata dua, di satu sisi kita diuntungkan karena dapat mengakses berbagai ilmu pengetahuan, khususnya tentang dunia parenting. Di sisi lain, tanpa adanya kontrol dan kebijaksanaan, teknologi bisa merusak kehidupan kita. Oleh sebab itu, orang tua zaman now dituntut mampu bijak memanfaatkan teknlogi untuk kebaikan.
Teknologi tidak bisa benar-benar dihindari. Mau tidak mau anak kita pasti terpapar teknologi, apalagi orang tua sehari-hari menggunakan gawai di rumah; handphone, laptop, televisi, dsb. Teknologinya boleh berubah, tapi tahapan tumbuh kembang anak tetap sama, tidak bisa dipercepat, tidak ada shortcut. Penting agar kita, orang tua, bisa masuk ke dunia anak
Beberapa waktu lalu, aku mengikuti webinar #MYBABYMOMVERSITY bertema ‘Digital Parenting 101’ yang menghadirkan narasumber seorang psikolog anak, remaja, dan keluara, Ibu Novita Tandry. Ibu Novita membuka diskusi dengan memaparkan tentang tahapan tumbuh kembang anak menurut Jean Piaget.
Tahapan tumbuh kembang anak berdasarkan psiko-kognitif terdiri dari 4 tahapan:
1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)
Tahap ini terjadi sejak anak dilahirkan hingga berusia dua tahun (masa bayi). Pada tahap sensorimotor, bayi belajar tentang diri sendiri dan dunia mereka melalui panca indera yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motorik atau gerak. Aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
Ciri anak yang berada pada tahap sensorimotor adalah seperti suka memerhatikan sesuatu dengan waktu lama, melihat dirinya sebagai makhluk yang berbeda dari objek sekelilingnya dan mencari sumber rangsangan suara atau cahaya. Makanya, waktu di tahap ini, anakku sudah aku berikan stimulus berupa buku dengan dua warna mencolok (high contrast) untuk melatih indera pengliatannya. Aku juga sering mengajaknya bercermin dan memberi rangsangan suara serta cahaya dari lampu bohlam yang di hidup dan matikan secara bergantian.
2. Tahap Pra-operasional (2-7 atau 8 tahun)
Pada tahap Pra-opersional ini anak telah menunjukkan kesadaran tentang dirinya dan duia di sekitarnya. Fikirannya memang belum terorganisir, tetapi anak sudah memahami tanda-tanda dan simbol. Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.
Nah, anakku sedang berada di tahap ini, Bu. Ia sudah mengerti bahwa dirinya eksis dan disekitarnya ada ayah, mama, nenek, kakek, juga orang-orang lainnya baik yang dikena maupun tidak. Ia juga sudah lancar berbicara, menduplikasi ucapan yang terdengar, menyusun balok dan mampu mengidentifikasi benda-benda juga fungsi dari benda tersebut. Azura juga sedang menunjukkan bahwa benda-benda mati di sekitarnya seolah hidup seperti dirinya. Namun, belakangan Azura cenderung egois, senang mengatur apapun sesuai kehendaknya saja, termasuk mengatur aku harus bersikap bagaimana. Kalau tak sampai maunya, ia akan menangis, menjerit. Ternyata itulah beberapa ciri dari tahapan pra-operasional.
3. Tahap Operasional Konkrit (7/8 tahun – 11/12 tahun)
Anak sudah mampu berpikir secara abstrak dan logis. Anak-anak di tahap ini sudah mampu mengelompokkan objek atau situasi tertentu dan mengurutkan sesuatu. Kemampuan mereka dalam mengingat dan berpikir logis juga meningkat. Pada tahap ini pula anak-anak sudah bisa diajarkan membaca dan berhitung (matematika).
Untuk mendidik anak di tahap ini, kita sebagai guru maupun orang tua harus mampu menghadirkan wujud nyata atau benda konkrit bukan teori. Misalnya, ketika anak belajar tentang jenis-jenis daun dan perbedaannya, maka guru atau orang tua sebisa mungkin menghadirkan berbagai jenis daun di hadapan anak-anak. Dengan demikian, anak-anak dapat melihat, meraba dan membuat kesimpulan tentang daun-daun tersebut.
4. Tahap Operasional Formal (11/12 tahun – 18 tahun)
Pada tahap ini anak-anak sudah dapat berpikir abstrak. Mereka sudah tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit. Anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks, ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, deduktif dan induktif serta logis dan probabilitas.
Psikolog Novita Tandry, mengingatkan bahwa anak usia 0-2 tahun tidak disarankan untuk screen time. Anak usia di bawah 5 tahun pada dasarnya masih melihat dunia dengan konsep hitam-putih, tidak ada abu-abu. Mereka akan percaya pada apa yang ada di depan mata dan apa yang dirasakan saat ini. Peran orang tua untuk menunjukkan hal-hal yang konkret yang nyata, bukan yang abstrak. Sementara dunia digital bersifat abstrak. Tumbuh kembang kognitif anak belum sampai di tahap menalar yang abstrak.
Jadi, dengan mengenal tahapan tumbuh kembang anak, orang tua bisa masuk dalam dunianya, kita bisa pahami apa yang mereka pikirkan, sehingga kita bisa mengenal, memahami dan menetukan metode parenting apa yang tepat untuk anak-anak kita. Untuk mengenal anak, kita harus meluangkan waktu secara kuantitas dan kualitas hadir seutuhnya untuk anak. Bukan hanya sekadar raga ada di rumah, tapi jiwanya, pikirannya entah dimana. Teknologi membantu kita tapi jangan sampai menggantikan posisi kita sebagai orang tua.
“Anak mengeja CINTA dengan W-A-K-T-U”
-Novita Tandry, Psikolog
Di era digital parenting ini, sudah menjadi tugas kita, orang tua, untuk hadir mendampingi dan memberikan contoh bagi anak-anak. Jangan lupa bahwa anak adalah cerminan orang tua. Apa yang bisa ditangkap oleh kelima panca inderanya itu yang dia serap. Memberikan contoh karena itu jauh lebih terserap oleh anak ketimbang marah-marah.
“I hear I forget, I see I remember, I do I understand”.
Bagaimana Ibu, makjleeeb gak tuh penjelasannya psikolog Novita Tandry? he-he... Lalu, apakah Ibu mengizinkan anak-anak untuk terpapar gadget atau screen time?
Semoga artikel ini bermanfaat. Terima kasih.
Salam sayang, Alfizza Murdiyono